PEMIKIRAN M. NATSIR TENTANG NEGARA ISLAM (RELASI AGAMA DAN NEGARA)



PEMIKIRAN M. NATSIR TENTANG NEGARA ISLAM
(RELASI AGAMA DAN NEGARA)

Ahmad Amin Thohir
130731615728
Pendidikan sejarah
Tohirahmad103@gmail.com

PENDAHULUAN
A.    Pengaruh Dari Pemikiran M. Natsir
Natsir dalam pemikirannya tentang suatu negara selalu dikaitkan dengan Islam, namun meskipun demikian natsir tidak mau sepenuhnya sistem islam di terapkan. Dalam pandangan natsir ia menginginkan negara indonesia memakai Islam sebagai asas negara indonesia. Namun penerapannya disini bukanlah seperti apa yang diterpakan umat islam seperti khilafah, maupun demokrasi liberal yang di terapkan di negara-negara barat. Namun asas negara yang di inginkan oleh M. Natsir adalah demokrasi yang berlandasan nilai-nilai ketuhanan (Natsir, 1957: 12)
Natsir menegaskan bahwa islam dan Negara merupakan relogio politik yang menyatu. Baginya negara bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai alat. Maka urusan kenegaraan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dengan Islam (Effendi, 1998:93). Ia percaya bahwa negara dengan berasaskan islam, umat dari agama-agama lain mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. “mereka tidak akan keberatan kalau di negara itu berlaku hukum islam mengenai soal-soal kemasyarakatan. Karena hukum tersebut tidak bertentangan dengan agama mereka, mengingat dalam agama mereka memeng tidak ada hal-hal yang bersangkutan dengan hal semacam itu. Hal ini mengindikasikan bahwa natsir tidak membatasi sistem apa yang harus dianut oleh Indonesia, namun tetap harus memakai asas  Islam (Natsir, 1957: 11). 
Ada dua faktor yang mempengaruhi pemikiran M. Nasir: Pertama, faktor sosial politik pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang cenderung sekuler (Suhelmi, 2002: 73).
Natsir selalu ingin pemikiran-pemkirannya tentang islam dapat diketahui oleh banyak orang, memberikan pemahaman tentang islam melalui tulisan-tulisan yang Ia tulis di banyak media masa pada waktu itu. Dan juga Gagasa-gagasannya tentang tata nagara Indonesia selalu dia tanamkan pada lembaga yang dibawahinya. Seperti Pada Mei 1967, natsir mendirikan dewan dakwah islamiyah Indonesia (DDII). melalui lembaga inilah Natsir berpengaruh melakukan karakterisasi Ideologi partai masyumi yang juga Ia ketuai.  dan dalam lembaga ini pula Ia mempromosikan gagasan yang mulanya dikembangkan dalam masyumi. Dan juga menanamkan cita-cita masyumi agar terus terpelihara. Sehingga masyumi selalu konsisten dengan apa sudah menjadi tujuan dan yang selalu diperjuangkannya (Assyaukanie, 2011: 112).
B.     Latar Belakang Sosial M. Natsir.
Lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun. Natsir adalah seorang ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan tokoh Islam terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia, sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia (Luth, 1999: 21)
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok, sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan 1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno. Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang saat itu telah dipimpin Soeharto hingga membuatnya dicekal (Luth, 1999: 21).
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam. Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45 buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu dari Lebanon dan dua dari Malaysia. Pada tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah." (https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir diakses tanggal 20 april 2016).
C.    Latar Belakang Budaya dan Pendidikan M. Natsir.
Natsir memulai pendidikan dasarnya di sekolah rakyat belanda (HIS), Ia menjadi salah seorang murid yang cerdas disekolahnya. Selain bersekolah di siang harinya, Ia juga sekolah di madrasah untuk belajar Islam, dan di malam harinya Ia mengaji pada seorang kyai  dalam surau yang ada di kampungnya, tak jarang sampai Ia menginap di surau tersebut. Masa kecilnya tak jauh berbeda dengan anak kebanyakan, Namun pekerjaan bapaknya Menuntut Ia sering pindah-pindah sekolah karna bapaknya sering di pindah-pindah tempat dinasnya (Luth, 1999: 22).
Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond (Luth, 1999:21-23). Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk belajar di Algemeene Middelbare School (AMS) hingga tamat pada tahun 1930. Dari tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB) Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan dialektika. Kemudian pada tahun 1932, Natsir berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam (Ilzamudin, 1995: 30-31).
Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai pimpinan untuk cabang Bandung dari tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 (Luth, 1999: 23-24).
D.    Orang yang mempengaruhi M. Natsir
M. Natsir mampu melakukan pergulatan di tengah-tengah situasi krisis-transisional denga segala resikonya itu karena beliau telah bertempa dalam menghadapi pelbagai situasi seperti itu. Berdasarkan dari penuturannya sendiri, beliau menyebutkan beberapa orang guru yang telah membekalinya untuk menjadi M. Natsir sebagai yang kita kenal dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Tentang itu beliau menuturkan Watik Praktiknya, Amien Rais, dkk, sebagai berikut: “terus terang ada tiga orang yang sangat mempengaruhi pertumbuhan pemikiran saya” (Hakim, 2008: 96).
Pertama, guru saya di bidang keagamaan adalah Ahmad Hassan seorang ulama besar yang berkepribadian tinggi. Waktu itu (1927) saya masih belajar di AMS. Pada suatu ketika saya di ajak oleh teman-teman untuk mendengarkan ceramah Tuan Hassan. Sejak itulah saya tertarik dengan cara ia menginterpretasikan Islam dengan menghubungkan dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ia memberantas khurafat, kekolotan, dan kebekuan. Semakan saya mengikuti ceramahnya semakin simpatik saya kepadanya. Perkenalannya dengan Ahmad hassan yang kemudian menjadi gurunya itu, M natsir kemudian menjadi pemikir pejuang Islam lewat persis (Hakim, 2008: 97).
Selanjutnya, dalam bidang politik saya banyak diilhami oleh pemikiran H. Agus Salim. Gurunya yang ketiga adalah syekh Ahmad Surkati. Meskipun beliau tidak terlalu banyak bertemu dengan tokoh ini dibandingkan dengan kedua gurunya yang lain, tetapi beliau juga mengunjunginya di jakarta. Dan saya juga mengakui pula bahwa di bidang pemikiran politik saya banyak dipengaruhi oleh pemikiran syakib Arsalan. Tentu saja guru-guru yang membekalinya itu memberinya pondasi pemikiran yang kemudian dikembangkan sendiri sesuai dengan tujuan dan dinamika perjuangannya (Hakim, 2008: 98).
E.     Fokus Tulisan
Pemikiran M. Natsir tentang hubungan agama dan negara ini dapat kita jumpai dalam tulisan-tulisan beliau terutama yang dimuat di majalah Panji Islam dan Al-Manaar sebagai tanggapan terhadap seri-artikel Ir. Soekarno. Di antara tulisan-tulisan itu adalah: 1. Cinta Agama dan Tanah Air, 2. Ichwanushshafah (Mei 1939), 3. Rasionalisme Dalam Islam (Juni 1939), 4. Islam dan Akal Merdeka (1940), 5. Persatuan Agama dan Negara.
Hal ini karena dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak mengandung persoalan ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan sekedar agama, tetapi juga merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara (Mahendra, 1996: 136).
Sejak awal M. Natsir sudah bersikokoh dengan pendiriannya bahwa agama Islam bukan hanya sekedar agama pribadi manausia yang mengurus soal-soal hubungan antara manusia dengan Tuhan. Namun disini agama Islam adalah agama yang lengkap (Sempurna) dimana dalam Islam banyak mengatur aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan. Islam juga tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Namun, bagi M. Natsir negara diperlukan baik ada ataupun tidak ada perintah Islam. Menurutnya, tidak perlu ada perintah untuk mendirikan negara. Yang diperlukan adalah patokan-patokan untuk mengatur negara supaya negara menjadi subur dan kuat serta menjadi wasilah bagi tercapainya tujuan hidup manusia dan bagi keselamatan mereka (Natsir. 2001: 83).
F.     Metode Penelitian.
Metode penelitian yang digunakan untuk mengkaji tentang penulisan sejarah pemikiran M. Natsir tentang negara islam indonesia ini yaitu menggunakan metode kepustakaan.
Studi kepustakaan menurut Zed (2004:17) mempunyai empat tahap, yaitu; (1) menyiapkan alat perlengkapan yang diperlukan, (2) menyiapkan bibliografi kerja (working bibliography), (3) mengorganisasikan waktu dan (4) kegiatan membaca dan mencatat bahan penelitian. Berdasarkan pendapat Mestika Zed tersebut, maka penelitian ini dilakukan melalui tahap-tahap berikut:
1.      Menyiapkan alat perlengkapan yang diperlukan
Dalam tahap ini peneliti menyiapkan alat perlengkapan seperti alat tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat bahan-bahan pustaka yang akan digunakan. Selain itu juga menyiapkan laptop atau komputer. Laptop digunakan untuk membuat catatan penelitian, mendokumentasikan data-data yang diperoleh sampai menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah.
2.      Menyiapkan Bibiliografi Kerja
Bibiliografi yaitu referensi (literature) , bahan sumber utama yang akan digunakan untuk mengkaji topik yang akan dibahas. Dalam tahap ini peneliti mencari atau menyiapkan referensi sebanyak mungkin yang berkaitan dengan topik.
3.      Mengorganisasi Waktu
Pengaturan waktu sangat penting dalam proses penyusunan karya ilmiah. Dalam tahap ini peneliti berusaha mengatur waktu dalam proses penulisan tugas ini. dimulai dari pengumpulan bibiliografi hingga sampai tahap akhir yaitu tahap penulisan.
4.      Kegiatan membaca dan mencatat bahan penelitian
Soeseno (1984:45) menjelaskan bahwa untuk memaksimalkan proses membaca hendaknya mengikuti langkah sebagai berikut: (1) Mula-mula harus dilihat daftar isinya dulu, (2) kemudian kata pendahuluan atau pengantar buku itu (bukan kata sambutan), yang mungkin dapat menjelaskan apa latarbelakang, (3) Setelah mengetahui itu semua, larilah kita ke tiap-tiap bab, (4) Langkah terakhir adalah mencatatnya. Dalam tahap ini, peneliti melakukan kegiatan membaca untuk menjabarkan poin-poin penting topik yang dibahas. Menjabarkan latarbelakamg alasan mengapa menulis tentang topik tersebut. Tahap terakhir yaitu mencatatnya. Mencatat dalam hal ini yaitu historiografi (penulisan). Pada tahap penulisan, peneliti menyajikan laporan hasil penelitin dari awal hingga akhir, yang meliputi masalah-masalah yang telah diajukan.
G.    Sub Pemikiran M. Natsir
Ø  Pemikiran M. Natsir Tentang Islam
Agama menurut Mohammad Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem  peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah lebih  dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna. Yang dituju oleh Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap‑tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang‑undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal‑soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya dalam musyawarah bersama. Seperti dalam firman Allah SWT. “Dan hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah”(Natsir, 1973: 440-441).
Natsir menekankan bahwa pengertian agama dalam Islam bukan sebatas pada ibadat-ibadat ritual, tetapi mencakup semua aspek sosial dan seluruh kehidupan masyarakat, berdasarkan kaidah hukum dan aturan yang secara rinci terhimpun dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi (Natsir, 1973: 442).
Menurutnya, dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan pokok-pokoknya saja, seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat manusia yang tidak berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman unta, manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya (Natsir, 1973: 447).
Ø  Pemikiran M. Natsir Tentang Negara
Negara menurut Natsir (2001: 206) adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material, peraturan-peraturan sendiri dan diakui oleh umum. Negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus mempunyai:
a)      wilayah.
b)      rakyat.
c)      pemerintah.
d)     kedaulatan. 
e)      Undang-undang Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Bagi kepala negara terpilih, tugas utama yang diembannya, menurut Natsir adalah melakukan musyawarah dengan orang-orang yang dianggap patut dan pantas atau layak untuk memecahkan persoalan-persoalan umat. Sementara dalam hal-hal yang sudah ada ketentuan hukumnya, tidak perlu dimusyawarahkan kembali seperti masalah alkohol, zina, perkawinan, waris, zakat dan fitrah, adalah tanggung jawab penguasa. Adapun dalam persoalan pengambilan keputusan terhadap sesuatu masalah, itu dapat diserahkan kepada perkembangan sesuatu masyarakat, apakah seperti yang dipraktekkan oleh Abu bakar atau berdasar pada pemilihan umum secara lazim yang berlaku sekarang; yang penting musyawarah itu dilakukan (Natsir, 1973: 443).
Maka di dalam menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan, perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang pokok (Natsir, 2001: 198).
Ø  Pemikiran M. Natsir Tentang Negara Islam
Sebagai sosok yang dikenal sebagai tokoh pemikir islam, tentunya pemikiran Natsir juga tidak terlepas dari agama. Menurut Natsir, agama harus dijadikan sebagai pondasi dalam mendirikan suatu negara. Sebab, agama tidak hanya berisikan tentang hubungan antar makhluk hidupdan tuhan. Akan tetapi, lebih dari itu, agama mencakup seluruh elemen kehidupan manusia.
Melalui ide dasar itulah, Natsir selalu memperjuangkan islam untuk dijadikan sebagai dasar negara indonesia. Meskipun Islam tidak menawarkan sebuah bentuk pemerintahan yang konkret, tetapi Islam kaya akan nilai-nilai yang dapat dijadikan patokan dalam sebuah pemerintahan. Menurut Natsir, hal itu dapat menjadi wasillah bagi tercapainya tujuan hidup manusia (Natsir, 2001: 83).
Pemikiran Mohammad Natsir tentang "hubungan antara Agama dan Negara, merupakan reaksi terhadap pemikiran Soekarno tentang "Pemisahan Agama dengan Negara" sebagaimana dikemukakan di atas. Natsir menulis secara berturut-turut di majalah Panji Islam, dengan judul Persatuan Agama dengan Negara. Tulisan tersebut terdiri dari beberapa anak judul, di antaranya yaitu: Persekot, Arti Agama dalam Negara, Mungkinkah Al-Quran Mengatur Negara, Islam Demokrasi, Islam in Schultzchaft, Kemal Pasha dan Vriy Metselarij, Kemalisten di Indonesia, dan Berhakim pada Sejarah. Tulisan-tulisan itu, satu sama lain, saling berkaitan (Natsir, 1973: 432).
Pernyataan Natsir pada bab-bab sebelumnya, mengatakan bahwa hubungan Islam dan negara, menurutnya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal balik, simbiosis mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan, berarti negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara kolektif (Natsir, 1973: 442).
Menurut Natsir, Islam untuk dijadikan dasar negara dilandasi atas beberapa hal. Pertama, Islam itu adalah agama yang lengkap dan sempurna. Namun begitu, kesempurnaan ajaran Islam itu terutama doktrin sosial politiknya hanya memberikan pedoman pedoman yang bersifat global dan tidak dalam bentuk rincian-rincian (Natsir, 1957: 377). Kedua, secara sosiologis, di samping Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga merupakan agama yang menghargai dan menghormati agama lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Natsir sendiri bahwa: “Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnja, kami mengajukan Islam sebagai Dasar Negara kita, akan tetapi berdasarkan kepada kejakinan kami, bahwa adjaran-adjaran Islam jang memiliki ketatanegaraan dan masjarakat hidup itu adalah mempunjai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat dan dapat mendjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara pelbagai golongan di dalam negara (Natsir, 1959: 166).
M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan panutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama (Natsir, 2001: 128).
Dalam pidatonya di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa  Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama (Natsir, 1957: 12).
Dalam modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk berusaha menerapkan ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman. Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana dakwah Islam (Luth, 1999: 85).
H.    Penutup
Mohammad Natsir merupakan salah seorang tokoh dakwah yang pemikirannya meliputi berbagai bidang. Ia adalah pendiri DDII (Dewan Da‘wah Islamiyah Indonesia) yang dinilai konsisten melaksanakan aktifitas dakwah Islam sampai akhir hayatnya. Sebagai buah perjuangan Mohammad Natsir, maka berkaitan dengan visi dan misi yang dikembangkan oleh DDII Aceh seharusnya tidak banyak berbeda dengan yang ditetapkan oleh pusat. Namun kenyataannya, jika dilihat dari aspek aktifitas yang dilakukan belum sepenuhnya dapat diaplikasikan oleh DDII Aceh. Berangkat dari kinerja DDII Provinsi Aceh yang terkesan kurang produktif disebabkan karena keterlibatan sebahagian pengurus yang kurang fokus pada aktifitas dakwah, karena keterlibatan kader dalam mengelola DDII adalah sebagai ‘pekerjaan sambilan’ karena masing-masing pengurus harian memiliki kesibukan, tanggung jawab dan aktifitas pribadi, selain mengelola dakwah di DDII Aceh.
Menurut M. Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan (integratif). Ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi atau falsafah hidup. Meskipun pemikiran Natsir tentang suatu negara selalu dikaitkan dengan Islam, namun natsir tidak mau sepenuhnya sistem islam di terapkan. Dalam pandangan natsir ia menginginkan negara indonesia memakai Islam sebagai asas negara indonesia. Natsir menegaskan bahwa islam dan Negara merupakan relogio politik yang menyatu. Baginya negara bukan merupakan tujuan, melainkan sebagai alat. Maka urusan kenegaraan pada dasarnya adalah suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dengan Islam.
Disini hal yang dapat dipelajarai dari pemikiran M. Natsir adalah meskipun pemikirannya ingin membentuk suatu Negara Islam namun disini M. Natsir tidak sepenuhnya Hubungan Islam dan negara yang integral dan simbiotik, tidak ada dikotomik yang bermuara kepada sekularisasi. Karena baginya, agama Islam adalah agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara. Sementara mengenai sistem pemerintahan menurut Natsir, bahwa di dalam Islam tidak ada uraian yang spesifik mengenai mekanismenya, yang ada hanya prinsip-prinsip saja. Dan Natsir merupakan sosok yang konsisten. Hal ini terbukti dari pemikirannya yang selalu berbuah dari keyakinanya. Mempertahankan apa yang sudah Ia yakini sebagai sebuah kebenaran. Yang selalu mengamalkan Islam yang menjadi landasan berpikirnya, dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kaitannya dengan kenegaraan. Ia selalu konsisten menentang ketidak adilan, meskipun ia tak lagi memegang jabatan dalam pemerintahan Indonesia.
Meskipun M. Natsir banyak mengalami pertentangan dengan lawan politik pada saat itu namun ia selalu berhubungan baik dengan siapapun termasuk lawan politiknya. Yang justru kebalikan dari banyak para politisi sekarang yang saling ingin menjatuhkan satu sama lain. Hal tersebut yang membuat kita tidak heran dengan banyaknya tokoh-tokoh indonesia saat ini yang terpengaruh oleh pemikirannya.

Daftar Rujukan
Assyaukanie, L. 2011. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. Jakarta : Freedom Institute.
Effendi, B. 1998. Islam dan Negara Transformasi Pemikiran Dan praktik Politik Islam Di Indonesia. Jakarta: penerbit paramadina.
Hakim, L. 2008. M. Natsir di Panggung Sejarah Republik. Jakarta: Republika.
Https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir (Online) diakses tanggal 20 april 2016
Luth, T. 1999. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press.
Mahendra, Y. I. 1996.  Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka Firdaus.
Natsir, M. 1957. capita selecta 1. Jakarta: pustaka pendis.
Natsir, M. 1958. Agama dan Politik, Capita Selecta, II. Djakarta: Pustaka Pendis.
Natsir, M. 1958. Islam sebagai Ideologi. Djakarta: Pusat Aida.
Natsir, M. 1959. Tentang Dasar Negara Republik Indonesia dalam konstituante, jilid 1. Bandung: Konstituante RI.
Natsir, M. 1973. Capita Selecta 2, Jakarta: Bulan Bintang
Natsir, M. 2001. Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah.
Natsir, M. 2004. Islam sebagai dasar Negara. Bandung: Sega Arsy
Soeseno, S. 1984. Teknik Penulisan Ilmiah Populer. Jakarta: PT Gramedia
Suhelmi, A. 2002. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Bandung: Teraju.
Zed, M. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN SAPE` SONO’ DI BUMI GERBANG SALAM KABUPATEN PAMEKASAN

artikel pp banyuayar

MTsN sumber bungur