PEMIKIRAN M. NATSIR TENTANG NEGARA ISLAM (RELASI AGAMA DAN NEGARA)
PEMIKIRAN M. NATSIR TENTANG NEGARA ISLAM
(RELASI AGAMA DAN NEGARA)
Ahmad Amin
Thohir
130731615728
Pendidikan
sejarah
Tohirahmad103@gmail.com
PENDAHULUAN
A.
Pengaruh Dari Pemikiran M. Natsir
Natsir dalam
pemikirannya tentang suatu negara selalu dikaitkan dengan Islam, namun meskipun
demikian natsir tidak mau sepenuhnya sistem islam di terapkan. Dalam pandangan
natsir ia menginginkan negara indonesia memakai Islam sebagai asas negara
indonesia. Namun penerapannya disini bukanlah seperti apa yang diterpakan umat
islam seperti khilafah, maupun demokrasi liberal yang di terapkan di
negara-negara barat. Namun asas negara yang di inginkan oleh M. Natsir adalah
demokrasi yang berlandasan nilai-nilai ketuhanan (Natsir, 1957: 12)
Natsir menegaskan bahwa
islam dan Negara merupakan relogio politik yang menyatu. Baginya negara bukan
merupakan tujuan, melainkan sebagai alat. Maka urusan kenegaraan pada dasarnya
adalah suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dengan Islam (Effendi, 1998:93).
Ia percaya bahwa negara dengan berasaskan islam, umat dari agama-agama
lain mendapat kemerdekaan beragama dengan luas. “mereka tidak akan keberatan
kalau di negara itu berlaku hukum islam mengenai soal-soal kemasyarakatan.
Karena hukum tersebut tidak bertentangan dengan agama mereka, mengingat dalam
agama mereka memeng tidak ada hal-hal yang bersangkutan dengan hal semacam itu.
Hal ini mengindikasikan bahwa natsir tidak membatasi sistem apa yang
harus dianut oleh Indonesia, namun tetap harus memakai asas Islam (Natsir, 1957: 11).
Ada dua faktor
yang mempengaruhi pemikiran M. Nasir: Pertama, faktor sosial politik
pada tahun 1940-an yang memunculkan polemik dan pertarungan ideologi antara
kaum nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler. Kedua, faktor emosional
Natsir selaku tokoh negarawan muslim saat itu, akhirnya melahirkan
gagasan-gagasan yang cukup reaksioner terhadap pemikiran Soekarno yang
cenderung sekuler (Suhelmi, 2002: 73).
Natsir selalu ingin
pemikiran-pemkirannya tentang islam dapat diketahui oleh banyak orang,
memberikan pemahaman tentang islam melalui tulisan-tulisan yang Ia tulis di
banyak media masa pada waktu itu. Dan juga Gagasa-gagasannya tentang tata
nagara Indonesia selalu dia tanamkan pada lembaga yang dibawahinya. Seperti
Pada Mei 1967, natsir mendirikan dewan dakwah islamiyah Indonesia (DDII).
melalui lembaga inilah Natsir berpengaruh melakukan karakterisasi Ideologi
partai masyumi yang juga Ia ketuai. dan
dalam lembaga ini pula Ia mempromosikan gagasan yang mulanya dikembangkan dalam
masyumi. Dan juga menanamkan cita-cita masyumi agar terus terpelihara. Sehingga
masyumi selalu konsisten dengan apa sudah menjadi tujuan dan yang selalu
diperjuangkannya (Assyaukanie,
2011: 112).
B. Latar Belakang Sosial M. Natsir.
Lahir di Alahan Panjang, Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Sumatera Barat, 17 Juli 1908 meninggal di Jakarta, 6 Februari 1993 pada umur 84 tahun. Natsir adalah seorang
ulama, politisi, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Ia
merupakan pendiri sekaligus pemimpin partai politik Masyumi, dan
tokoh Islam
terkemuka Indonesia. Di dalam negeri, ia pernah menjabat menteri dan perdana menteri Indonesia,
sedangkan di kancah internasional, ia pernah menjabat sebagai Presiden Liga
Muslim se-Dunia (World Muslim Congress) dan ketua Dewan Masjid se-Dunia
(Luth, 1999: 21)
Natsir lahir dan dibesarkan di Solok,
sebelum akhirnya pindah ke Bandung untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang SMA dan kemudian mempelajari ilmu Islam secara
luas di perguruan tinggi. Ia terjun ke dunia politik pada pertengahan
1930-an dengan bergabung di partai politik berideologi Islam. Pada 5 September 1950, ia diangkat sebagai
perdana menteri Indonesia kelima. Setelah mengundurkan diri dari jabatannya
pada tanggal 26 April 1951 karena berselisih paham dengan Presiden Soekarno, ia
semakin vokal menyuarakan pentingnya peranan Islam di Indonesia hingga membuatnya dipenjarakan oleh Soekarno.
Setelah dibebaskan pada tahun 1966, Natsir terus mengkritisi pemerintah yang
saat itu telah dipimpin Soeharto hingga
membuatnya dicekal (Luth, 1999: 21).
Natsir banyak menulis tentang pemikiran Islam.
Ia aktif menulis di majalah-majalah Islam setelah karya tulis pertamanya
diterbitkan pada tahun 1929; hingga akhir hayatnya ia telah menulis sekitar 45
buku dan ratusan karya tulis lain. Ia memandang Islam sebagai bagian tak
terpisahkan dari budaya Indonesia. Ia mengaku kecewa dengan perlakuan
pemerintahan Soekarno dan Soeharto terhadap Islam. Selama hidupnya, ia
dianugerahi tiga gelar doktor honoris causa, satu
dari Lebanon dan dua
dari Malaysia. Pada
tanggal 10 November 2008, Natsir dinyatakan sebagai pahlawan nasional Indonesia. Natsir
dikenal sebagai menteri yang "tak punya baju bagus, jasnya bertambal. Dia
dikenang sebagai menteri yang tak punya rumah dan menolak diberi hadiah mobil mewah." (https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir diakses
tanggal 20 april 2016).
C. Latar Belakang Budaya dan Pendidikan M. Natsir.
Natsir memulai pendidikan dasarnya di sekolah rakyat belanda (HIS), Ia menjadi salah
seorang murid yang cerdas disekolahnya. Selain bersekolah di siang harinya, Ia
juga sekolah di madrasah untuk belajar Islam, dan di malam harinya Ia mengaji
pada seorang kyai dalam surau yang ada
di kampungnya, tak jarang sampai Ia menginap di surau tersebut. Masa kecilnya
tak jauh berbeda dengan anak kebanyakan, Namun pekerjaan bapaknya Menuntut Ia
sering pindah-pindah sekolah karna bapaknya sering di pindah-pindah tempat
dinasnya (Luth, 1999: 22).
Pada tahun 1923, ia melanjutkan pendidikannya
di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)
lalu ikut bergabung dengan perhimpunan-perhimpunan pemuda seperti Pandu
Nationale Islamietische Pavinderij dan Jong Islamieten Bond (Luth, 1999:21-23). Setelah lulus dari MULO, ia pindah ke Bandung untuk
belajar di Algemeene Middelbare School (AMS)
hingga tamat pada tahun 1930. Dari
tahun 1928 sampai 1932, ia menjadi ketua Jong Islamieten Bond (JIB)
Bandung. Ia juga menjadi pengajar setelah memperoleh pelatihan guru selama dua tahun di perguruan tinggi. Ia
yang telah mendapatkan pendidikan Islam di Sumatera Barat sebelumnya juga memperdalam ilmu agamanya di
Bandung, termasuk dalam bidang tafsir Al-Qur'an, hukum Islam, dan dialektika.
Kemudian pada tahun 1932, Natsir
berguru pada Ahmad Hassan, yang kelak menjadi tokoh organisasi Islam Persatuan Islam (Ilzamudin, 1995: 30-31).
Natsir banyak bergaul dengan pemikir-pemikir
Islam, seperti Agus Salim; selama pertengahan 1930-an, ia dan Salim
terus bertukar pikiran tentang hubungan Islam dan negara demi masa depan pemerintahan Indonesia yang dipimpin Soekarno. Pada
tahun 1938, ia bergabung dengan Partai Islam Indonesia, dan diangkat sebagai
pimpinan untuk cabang Bandung dari
tahun 1940 sampai 1942. Ia juga bekerja sebagai Kepala Biro Pendidikan Bandung
sampai tahun 1945. Selama pendudukan Jepang, ia bergabung dengan Majelis Islam A'la
Indonesia (lalu berubah menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau
Masyumi), dan diangkat sebagai salah satu ketua dari tahun 1945 sampai ketika
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia
dibubarkan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960 (Luth,
1999: 23-24).
D.
Orang yang mempengaruhi M. Natsir
M. Natsir mampu
melakukan pergulatan di tengah-tengah situasi krisis-transisional denga segala
resikonya itu karena beliau telah bertempa dalam menghadapi pelbagai situasi
seperti itu. Berdasarkan dari penuturannya sendiri, beliau menyebutkan beberapa
orang guru yang telah membekalinya untuk menjadi M. Natsir sebagai yang kita
kenal dalam perjalanan sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Tentang itu beliau menuturkan Watik Praktiknya, Amien Rais, dkk, sebagai
berikut: “terus terang ada tiga orang yang sangat mempengaruhi pertumbuhan
pemikiran saya” (Hakim, 2008: 96).
Pertama, guru
saya di bidang keagamaan adalah Ahmad Hassan seorang ulama besar yang
berkepribadian tinggi. Waktu itu (1927) saya masih belajar di AMS. Pada suatu
ketika saya di ajak oleh teman-teman untuk mendengarkan ceramah Tuan Hassan.
Sejak itulah saya tertarik dengan cara ia menginterpretasikan Islam dengan
menghubungkan dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Ia
memberantas khurafat, kekolotan, dan kebekuan. Semakan saya mengikuti
ceramahnya semakin simpatik saya kepadanya. Perkenalannya dengan Ahmad hassan
yang kemudian menjadi gurunya itu, M natsir kemudian menjadi pemikir pejuang
Islam lewat persis (Hakim, 2008: 97).
Selanjutnya,
dalam bidang politik saya banyak diilhami oleh pemikiran H. Agus Salim. Gurunya
yang ketiga adalah syekh Ahmad Surkati. Meskipun beliau tidak terlalu banyak
bertemu dengan tokoh ini dibandingkan dengan kedua gurunya yang lain, tetapi
beliau juga mengunjunginya di jakarta. Dan saya juga mengakui pula bahwa di
bidang pemikiran politik saya banyak dipengaruhi oleh pemikiran syakib Arsalan.
Tentu saja guru-guru yang membekalinya itu memberinya pondasi pemikiran yang
kemudian dikembangkan sendiri sesuai dengan tujuan dan dinamika perjuangannya
(Hakim, 2008: 98).
E.
Fokus Tulisan
Pemikiran M.
Natsir tentang hubungan agama dan negara ini dapat kita jumpai dalam
tulisan-tulisan beliau terutama yang dimuat di majalah Panji
Islam dan Al-Manaar sebagai tanggapan
terhadap seri-artikel Ir. Soekarno. Di antara tulisan-tulisan itu adalah: 1. Cinta
Agama dan Tanah Air, 2. Ichwanushshafah (Mei 1939), 3. Rasionalisme
Dalam Islam (Juni 1939), 4. Islam dan Akal Merdeka (1940), 5. Persatuan
Agama dan Negara.
Hal ini karena dalam
pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap. Ajaran Islam tidak
mengandung persoalan ibadah saja, tetapi juga mengandung aspek lain seperti
bidang hukum tentang kenegaraan, maka pendirian sebuah negara adalah suatu
kemestian Sebagaimana pendapat H.A.R. Gibb, bagi Natsir, Islam itu bukan
sekedar agama, tetapi juga merupakan peradaban yang komplit. Untuk itu dalam
Islam tidak relevan adanya pemisahan agama dari negara karena nilai-nilai
universal Islam itu tidak dapat dipisahkan dari ide pembentukan sebuah negara
(Mahendra, 1996: 136).
Sejak awal M. Natsir
sudah bersikokoh dengan pendiriannya bahwa agama Islam bukan hanya sekedar
agama pribadi manausia yang mengurus soal-soal hubungan antara manusia dengan
Tuhan. Namun disini agama Islam adalah agama yang lengkap (Sempurna) dimana
dalam Islam banyak mengatur aspek kehidupan manusia, termasuk politik
kenegaraan. Islam juga tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik.
Namun, bagi M. Natsir negara diperlukan baik ada ataupun tidak ada perintah
Islam. Menurutnya, tidak perlu ada perintah untuk mendirikan negara. Yang
diperlukan adalah patokan-patokan untuk mengatur negara supaya negara menjadi
subur dan kuat serta menjadi wasilah bagi tercapainya tujuan hidup
manusia dan bagi keselamatan mereka (Natsir. 2001: 83).
F.
Metode Penelitian.
Metode
penelitian yang digunakan untuk mengkaji tentang penulisan sejarah pemikiran M.
Natsir tentang negara islam indonesia ini yaitu menggunakan metode kepustakaan.
Studi
kepustakaan menurut Zed (2004:17) mempunyai empat tahap, yaitu; (1) menyiapkan
alat perlengkapan yang diperlukan, (2) menyiapkan bibliografi kerja (working bibliography), (3)
mengorganisasikan waktu dan (4) kegiatan membaca dan mencatat bahan penelitian.
Berdasarkan pendapat Mestika Zed tersebut, maka penelitian ini dilakukan
melalui tahap-tahap berikut:
1.
Menyiapkan alat perlengkapan yang diperlukan
Dalam tahap ini peneliti menyiapkan alat perlengkapan seperti alat
tulis dan kertas yang digunakan untuk mencatat bahan-bahan pustaka yang akan
digunakan. Selain itu juga menyiapkan laptop atau komputer. Laptop digunakan
untuk membuat catatan penelitian, mendokumentasikan data-data yang diperoleh
sampai menghasilkan sebuah karya tulis ilmiah.
2.
Menyiapkan Bibiliografi Kerja
Bibiliografi yaitu referensi (literature) , bahan sumber utama yang
akan digunakan untuk mengkaji topik yang akan dibahas. Dalam tahap ini peneliti
mencari atau menyiapkan referensi sebanyak mungkin yang berkaitan dengan topik.
3.
Mengorganisasi Waktu
Pengaturan waktu sangat penting dalam proses penyusunan karya
ilmiah. Dalam tahap ini peneliti berusaha mengatur waktu dalam proses penulisan
tugas ini. dimulai dari pengumpulan bibiliografi hingga sampai tahap akhir
yaitu tahap penulisan.
4.
Kegiatan membaca dan mencatat bahan penelitian
Soeseno (1984:45) menjelaskan bahwa untuk memaksimalkan proses
membaca hendaknya mengikuti langkah sebagai berikut: (1) Mula-mula harus
dilihat daftar isinya dulu, (2) kemudian kata pendahuluan atau pengantar buku
itu (bukan kata sambutan), yang mungkin dapat menjelaskan apa latarbelakang,
(3) Setelah mengetahui itu semua, larilah kita ke tiap-tiap bab, (4) Langkah
terakhir adalah mencatatnya. Dalam tahap ini, peneliti melakukan kegiatan
membaca untuk menjabarkan poin-poin penting topik yang dibahas. Menjabarkan
latarbelakamg alasan mengapa menulis tentang topik tersebut. Tahap terakhir
yaitu mencatatnya. Mencatat dalam hal ini yaitu historiografi (penulisan). Pada tahap penulisan, peneliti
menyajikan laporan hasil penelitin dari awal hingga akhir, yang meliputi
masalah-masalah yang telah diajukan.
G.
Sub Pemikiran M. Natsir
Ø Pemikiran M. Natsir Tentang Islam
Agama menurut
Mohammad Natsir harus dijadikan pondasi dalam mendirikan suatu negara. Agama,
bukanlah semata-mata suatu sistem
peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu adalah
lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia
adalah satu kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna. Yang dituju oleh
Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap‑tiap orang, hingga meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan perundang‑undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam
soal‑soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian dan suaranya
dalam musyawarah bersama. Seperti dalam firman Allah SWT. “Dan
hendaklah urusan mereka diputuslan dengan musyawarah”(Natsir, 1973: 440-441).
Natsir
menekankan bahwa pengertian agama dalam Islam bukan sebatas pada ibadat-ibadat
ritual, tetapi mencakup semua aspek sosial dan seluruh kehidupan masyarakat,
berdasarkan kaidah hukum dan aturan yang secara rinci terhimpun dalam Al-Qur’an
dan Sunnah Nabi (Natsir, 1973: 442).
Menurutnya,
dalam kenegaraan Islam memang hanya mengatur dasar dan pokok-pokoknya saja,
seperti halnya kepentingan dan keperluan masyarakat manusia yang tidak
berubah-ubah selama manusia masih bersifat manusia, baik itu manusia zaman
unta, manusia zaman kapal terbang dan lain sebagainya (Natsir, 1973: 447).
Ø Pemikiran M. Natsir Tentang Negara
Negara menurut
Natsir (2001: 206) adalah suatu institusi yang mempunyai hak, tugas dan tujuan
khusus. Institusi secara umum adalah suatu badan atau organisasi yang mempunyai
tujuan khusus dan dilengkapi oleh alat-alat material, peraturan-peraturan
sendiri dan diakui oleh umum. Negara sebagai suatu institutsi, menurutnya harus
mempunyai:
a)
wilayah.
b)
rakyat.
c)
pemerintah.
d)
kedaulatan.
e)
Undang-undang
Dasar, atau suatu sumber hukum dan kekuasaan lain yang tidak tertulis.
Bagi kepala
negara terpilih, tugas utama yang diembannya, menurut Natsir adalah melakukan
musyawarah dengan orang-orang yang dianggap patut dan pantas atau layak untuk
memecahkan persoalan-persoalan umat. Sementara dalam hal-hal yang sudah ada
ketentuan hukumnya, tidak perlu dimusyawarahkan kembali seperti masalah
alkohol, zina, perkawinan, waris, zakat dan fitrah, adalah tanggung jawab
penguasa. Adapun dalam persoalan pengambilan keputusan terhadap sesuatu
masalah, itu dapat diserahkan kepada perkembangan sesuatu masyarakat, apakah
seperti yang dipraktekkan oleh Abu bakar atau berdasar pada pemilihan umum
secara lazim yang berlaku sekarang; yang penting musyawarah itu dilakukan
(Natsir, 1973: 443).
Maka di dalam
menyusun suatu UUD bagi negara, dan untuk mencapai hasil yang memuaskan,
perlulah bertolak dari pokok pikiran yang pasti, yakni UUD bagi negara
Indonesia harus menempatkan negara dalam hubungan yang seerat-eratnya dengan
masyarakat yang hidup di negeri ini. Tegasnya, UUD negara itu haruslah berurat
dan berakar dalam kalbu, yakni berurat berakar dalam akal pikiran, alam perasaan
dan alam kepercayaan serta falsafah hidup dari rakyat dalam negeri ini. Dasar
negara yang tidak memenuhi syarat yang demikian itu, tentulah menempatkan
negara terombang-ambing, labil dan tidak duduk di atas sendi-sendi yang pokok
(Natsir, 2001: 198).
Ø Pemikiran M. Natsir Tentang Negara
Islam
Sebagai sosok
yang dikenal sebagai tokoh pemikir islam, tentunya pemikiran Natsir juga tidak
terlepas dari agama. Menurut Natsir, agama harus dijadikan sebagai pondasi
dalam mendirikan suatu negara. Sebab, agama tidak hanya berisikan tentang
hubungan antar makhluk hidupdan tuhan. Akan tetapi, lebih dari itu, agama
mencakup seluruh elemen kehidupan manusia.
Melalui ide
dasar itulah, Natsir selalu memperjuangkan islam untuk dijadikan sebagai dasar
negara indonesia. Meskipun Islam tidak menawarkan sebuah bentuk pemerintahan
yang konkret, tetapi Islam kaya akan nilai-nilai yang dapat dijadikan patokan
dalam sebuah pemerintahan. Menurut Natsir, hal itu dapat menjadi wasillah
bagi tercapainya tujuan hidup manusia (Natsir, 2001: 83).
Pemikiran
Mohammad Natsir tentang "hubungan antara Agama dan Negara, merupakan
reaksi terhadap pemikiran Soekarno tentang "Pemisahan Agama dengan
Negara" sebagaimana dikemukakan di atas. Natsir menulis secara
berturut-turut di majalah Panji Islam, dengan judul Persatuan Agama dengan
Negara. Tulisan tersebut terdiri dari beberapa anak judul, di antaranya yaitu:
Persekot, Arti Agama dalam Negara, Mungkinkah Al-Quran Mengatur Negara, Islam
Demokrasi, Islam in Schultzchaft, Kemal Pasha dan Vriy Metselarij, Kemalisten
di Indonesia, dan Berhakim pada Sejarah. Tulisan-tulisan itu, satu sama lain,
saling berkaitan (Natsir, 1973: 432).
Pernyataan
Natsir pada bab-bab sebelumnya, mengatakan bahwa hubungan Islam dan negara,
menurutnya tidak dapat dipisahkan, karena keduanya mempunyai fungsi timbal
balik, simbiosis mutualisme. Baginya, negara adalah sebuah alat bukan tujuan,
berarti negara di sini selain merupakan institusi pemerintahan, juga mempunyai
kekuatan penuh untuk menjaga dan memberlakuan undang-undang Syari‘ah, yang
berkenaan dengan kehidupan manusia sebagai individu, maupun masyarakat secara
kolektif (Natsir, 1973: 442).
Menurut Natsir, Islam
untuk dijadikan dasar negara dilandasi atas beberapa hal. Pertama, Islam
itu adalah agama yang lengkap dan sempurna. Namun begitu, kesempurnaan ajaran
Islam itu terutama doktrin sosial politiknya hanya memberikan pedoman pedoman
yang bersifat global dan tidak dalam bentuk rincian-rincian (Natsir, 1957:
377). Kedua, secara sosiologis, di samping Islam merupakan agama yang
dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam juga merupakan agama yang
menghargai dan menghormati agama lain. Sebagaimana dinyatakan oleh Natsir
sendiri bahwa: “Bukan semata-mata lantaran umat Islam adalah golongan yang
terbanyak di kalangan rakyat Indonesia seluruhnja, kami mengajukan Islam
sebagai Dasar Negara kita, akan tetapi berdasarkan kepada kejakinan kami, bahwa
adjaran-adjaran Islam jang memiliki ketatanegaraan dan masjarakat hidup itu
adalah mempunjai sifat-sifat yang sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat
dan dapat mendjamin hidup keragaman atas saling harga menghargai antara
pelbagai golongan di dalam negara (Natsir, 1959: 166).
M. Natsir
menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan negara Islam, meskipun tidak
disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama negara. Baginya secara de
facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui sebagai agama dan panutan
jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan kenegaraan di Indonesia
tidak bisa dipisahkan dari agama (Natsir, 2001: 128).
Dalam pidatonya
di Pakistan, M. Natsir menyatakan dengan tegas bahwa Indonesia merupakan
negara Islam, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, Islam adalah agama
negara. Baginya secara de facto sudah pasti menunjukkan bahwa Islam diakui
sebagai agama dan anutan jiwa bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu persoalan
kenegaraan di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari agama (Natsir, 1957: 12).
Dalam
modernisasi politik Islam, Natsir mempunyai pandangan untuk berusaha menerapkan
ajaran dan nilai-nilai, kerohanian, sosial, dan politik Islam yang terkandung
di dalam al-Qur’an dan sunnah dengan menyesuaikan terhadap perkembangan zaman.
Selanjutnya, Natsir mewajibkan seoarang muslim untuk berpolitik sebagai sarana
dakwah Islam (Luth, 1999: 85).
H.
Penutup
Mohammad Natsir merupakan salah seorang tokoh dakwah yang
pemikirannya meliputi berbagai bidang. Ia adalah pendiri DDII (Dewan Da‘wah
Islamiyah Indonesia) yang dinilai konsisten melaksanakan aktifitas dakwah Islam
sampai akhir hayatnya. Sebagai buah perjuangan Mohammad Natsir, maka berkaitan
dengan visi dan misi yang dikembangkan oleh DDII Aceh seharusnya tidak banyak
berbeda dengan yang ditetapkan oleh pusat. Namun kenyataannya, jika dilihat
dari aspek aktifitas yang dilakukan belum sepenuhnya dapat diaplikasikan oleh
DDII Aceh. Berangkat dari kinerja DDII Provinsi Aceh yang terkesan kurang
produktif disebabkan karena keterlibatan sebahagian pengurus yang kurang fokus
pada aktifitas dakwah, karena keterlibatan kader dalam mengelola DDII adalah
sebagai ‘pekerjaan sambilan’ karena masing-masing pengurus harian memiliki
kesibukan, tanggung jawab dan aktifitas pribadi, selain mengelola dakwah di
DDII Aceh.
Menurut M. Natsir, Islam dan negara adalah dua entitas yang tidak
bisa dipisahkan (integratif). Ia beranggapan bahwa urusan kenegaraan pada
dasarnya merupakan bagian integral Islam yang di dalamnya mengandung ideologi
atau falsafah hidup. Meskipun pemikiran Natsir tentang suatu negara selalu
dikaitkan dengan Islam, namun natsir tidak mau sepenuhnya sistem islam di
terapkan. Dalam pandangan natsir ia menginginkan negara indonesia memakai Islam
sebagai asas negara indonesia. Natsir menegaskan bahwa
islam dan Negara merupakan relogio politik yang menyatu. Baginya negara bukan
merupakan tujuan, melainkan sebagai alat. Maka urusan kenegaraan pada dasarnya
adalah suatu bagian yang tak dapat dipisahkan dengan Islam.
Disini hal yang dapat dipelajarai dari pemikiran M. Natsir adalah
meskipun pemikirannya ingin membentuk suatu Negara Islam namun disini M. Natsir
tidak sepenuhnya Hubungan Islam dan negara yang integral dan simbiotik, tidak ada
dikotomik yang bermuara kepada sekularisasi. Karena baginya, agama Islam adalah
agama universal yang menata seluruh mekanisme kehidupan, termasuk masalah negara. Sementara mengenai sistem pemerintahan menurut Natsir, bahwa di
dalam Islam tidak ada uraian yang spesifik mengenai mekanismenya, yang ada
hanya prinsip-prinsip saja. Dan Natsir merupakan sosok
yang konsisten. Hal ini terbukti dari pemikirannya yang selalu berbuah dari
keyakinanya. Mempertahankan apa yang sudah Ia yakini sebagai sebuah kebenaran.
Yang selalu mengamalkan Islam yang menjadi landasan berpikirnya, dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam kaitannya dengan kenegaraan. Ia selalu
konsisten menentang ketidak adilan, meskipun ia tak lagi memegang jabatan dalam
pemerintahan Indonesia.
Meskipun M. Natsir banyak mengalami pertentangan dengan lawan
politik pada saat itu namun ia selalu berhubungan
baik dengan siapapun termasuk lawan politiknya. Yang justru kebalikan dari
banyak para politisi sekarang yang saling ingin menjatuhkan satu sama lain. Hal
tersebut yang membuat kita tidak heran dengan banyaknya tokoh-tokoh indonesia
saat ini yang terpengaruh oleh pemikirannya.
Daftar Rujukan
Assyaukanie, L. 2011. Ideologi Islam dan Utopia, Tiga Model Negara Demokrasi Di Indonesia. Jakarta
: Freedom Institute.
Effendi, B. 1998. Islam dan Negara
Transformasi Pemikiran Dan praktik Politik Islam Di Indonesia. Jakarta:
penerbit paramadina.
Hakim, L. 2008. M. Natsir di Panggung Sejarah
Republik. Jakarta: Republika.
Https://id.wikipedia.org/wiki/Mohammad_Natsir (Online) diakses tanggal 20 april 2016
Luth,
T. 1999. M. Natsir: Dakwah dan Pemikirannya. Jakarta: Gema Insani Press.
Mahendra, Y. I. 1996.
Pemikiran dan Perjuangan Mohammad Natsir, Jakarta, Pustaka
Firdaus.
Natsir, M. 1957. capita selecta 1. Jakarta: pustaka
pendis.
Natsir, M. 1958. Agama dan Politik, Capita Selecta,
II. Djakarta: Pustaka Pendis.
Natsir, M. 1958. Islam sebagai Ideologi.
Djakarta: Pusat Aida.
Natsir, M. 1959. Tentang Dasar Negara Republik
Indonesia dalam konstituante, jilid 1. Bandung: Konstituante RI.
Natsir, M. 1973. Capita Selecta 2, Jakarta: Bulan Bintang
Natsir, M.
2001. Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam. Jakarta: Media Dakwah.
Natsir, M.
2004. Islam sebagai dasar Negara. Bandung: Sega Arsy
Soeseno,
S. 1984. Teknik Penulisan Ilmiah Populer. Jakarta: PT Gramedia
Suhelmi, A.
2002. Polemik Negara Islam: Soekarno Versus Natsir. Bandung: Teraju.
Zed, M. 2004. Metode
Penelitian Kepustakaan. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.
Komentar
Posting Komentar