PENGARUH ASPEK SOSIAL DAN AKTIVITAS SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL - EKONOMI PRIYAYI DAN PANGREH PRAJA MASA ZAMAN TRANSISI (BELANDA) DI INDONESIA



PENGARUH ASPEK SOSIAL DAN AKTIVITAS SOSIAL TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL - EKONOMI PRIYAYI DAN PANGREH PRAJA MASA ZAMAN TRANSISI (BELANDA)  DI INDONESIA
Ahmad Amin Thohir
130731615728
Pendidikan sejarah
Tohirahmad103@gmail.com

PENDAHULUAN
Di dalam kehidupan masyarakat di dunia, baik yang sangat sederhana maupun yang sangat kompleks sifatnya dalam pergaulan antarindividunya, ada pembedaan kedudukan dan derajat (status). Pembedaan kedudukan dan derajat terhadap individu-individu dalam masyarakat itulah yang menjadi dasar dan pangkal bagi gejala pelapisan sosial yang ada di dalam hampir semua masyarakat di dunia (Koentjaraningrat.1972:174).
Orang Jawa pada umumnya dapat dibagi ke dalam 3 lapisan sosial, yaitu (1) golongan orang biasa dan para pekerja kasar atau tiyang alit; (2) golongan pedagang atau sodagar; (3) golongan pegawai pemerintah yang bekerja di kantor-kantor pemerintah daerah, instansi-instansi pemerintah, dan orang-orang yang menduduki jabatan kepegawaian atau mereka sering disebut priyayi (Koentjaraningrat. 1972:230).
Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan itu dibentuk oleh suatu cara berpikir dan cara merasakan nilai-nilai, organisasi sosial, kelakuan, peristiwa-peristiwa dan segi-segi lain dari pada pengalaman. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman dan kegiatan itu dan pada gilirannya mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.
Hidup sebagai priyayi merupakan dambaan setiap orang, karena dibekali berbagai keistimewaan yang tidak dimiliki oleh kelompok sosial lain. Priyayi memiliki status sosial yang tinggi, mereka dianggap masih keturunan raja dan hidup di sekitar raja. Priyayi sering memakai istilah cedhak ratu adoh watu (dekat raja jauh batu) maka masyarakat luas yang hidup di perkampungan dan jauh dengan keraton memiliki kebudayaan yang kasar. Keadaan sosial‑ekonomi priyayi lebih baik dari pada keadaan sosial‑ekonomi rakyat kebanyakan karena mereka diberi gaji tetap oleh pemerintah kolonial (Geertz, 1987: 8).
Menurut sartono Kartodirdjo dkk (1987:3-4)  kata priyayi berasal dari dua kata Jawa: para dan yayi yang secara harafiah berarti para adik, yang merujuk pada para adik raja. Kata priyayi digunakan sebagai sebutan orang-orang yang terhormat, berwibawa, dan dekat denga pejabat yang paling tinggi.
pandangan hidup priyayi Jawa dapat dijadikan sebagai sebuah ciri khas dari orang Jawa, yaitu kemampuannya yang luar biasa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar, dan dalam keadaan itu mereka tetap mempertahankan keaslian mereka sebagai orang Jawa. Gaya hidup priyayi dilihat dari aspek ekonomi yang berupa mata pencaharian hidup, seperti tempat bekerja, jenis pekerjaan, bidang pekerjaan, penghasilan, dan pengeluaran (Franz Magnis-Suseno. 2003:1 )
Sikap ekonomi di sini adalah sikap diri terhadap pemimpin atau penguasa yang menguasai dalam bidang pekerjaan, yaitu raja. Sikap golongan priyayi terhadap raja haruslah penuh hormat, karena raja dengan kehendak pribadinya dapat kapan saja memberhentikan priyayi yang tidak disukainya dari pekerjaannya. tradisi golongan priyayi disebut kawula (hamba raja), dan kedudukan mereka berada di antara raja, para bangsawan, dan para pangeran di satu pihak, dan rakyat di pihak lain. Mereka dibeda-bedakan sesuai dengan jabatan dan kedudukan yang banyak jumlahnya di dalam pemerintahan kerajaan-kerajaan (Koentjaraningrat. 1994:278).
Tindakan ekonomi di sini adalah tindakan yang dilakukan seorang priyayi dalam hal untuk menunjang kehidupan dan meningkatkan penghasilan. Tindakan ekonomi yang dilakukan priyayi adalah:
“Sedangkan priyayi abdi dalem Demang, bisa merangkap menjadi abdi dalem Demang Pesanggrahan, serta merangkap lagi menjadi abdi dalem penjaga kuburan atau makam para leluhur, selainnya yaitu masih merangkap lagi menjadi abdi dalem Penatus. Jadi priyayi ini bisa dikatakan gajinya besar dan mereka bekerja berada di desa, tempat kelahirannya masing-masing turun-temurun.” (Astri Rahayu. 2008:52)
Kutipan kalimat di atas menggambarkan bahwa tindakan ekonomi priyayi Demang yang bekerja lebih dari satu pekerjaan, selain menjadi Demang yang bertugas mengumpulkan upeti dari para petani, ia juga merangkap menjadi abdi dalem penjaga makam leluhur, menjadi kepala desa, dan lain sebagainya. Hal tersebut dilakukan oleh seorang priyayi untuk meningkatkan penghasilannya yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi sehari-hari beserta keluarga. Karena dari setiap pekerjaan mendapatkan jumlah penghasilan yang berbeda-beda besar kecilnya tergantung dari tingkat kesulitan pekerjaan (Astri Rahayu. 2008:54).
Religiusitas yang berwujud sistem keyakinan masih mendasari gaya hidup para priyayi, hal itu dapat terlihat dari tindakan yang ditempuh golongan priyayi dalam rangka meningkatkan penghasilannya, yaitu dengan bekerja lebih dari satu pekerjaan. Adapun pekerjaan lain yang dipilihnya adalah menjadi penjaga makam para leluhur. Pekerjaan itu tentu dapat dilakukan dengan sebaik mungkin karena ditunjang oleh sistem kepercayaan mereka terhadap makam dan roh-roh para leluhur. Oleh sebab itu, sambil bekerja mereka juga dapat menjalin hubungan baik dengan roh-roh para leluhur. Tindakan yang ditempuh oleh seorang priyayi tersebut merupakan upaya agar mereka dapat mengumpulkan setiap penghasilan dari berbagai pekerjaannya tersebut sehingga menghasilkan pendapatan yang cukup besar  (Astri Rahayu. 2008:55).
Maka dapat disimpulkan bahwa tingkah laku priyayi dan pangreh praja dalam hal ekonomi di sini adalah perilaku yang telah menjadi kebiasaan. Perilaku kaum priyayi dalam ekonomi (pengeluaran) dapat terlihat dari kebiasaan mereka yang sangat royal terhadap uang atau pengeluaran. Penghasilan yang didapatkan seorang priyayi dari upaya kerja kerasnya sehari-hari digunakan untuk membeli kebutuhan hidup dan kebutuhan lainnya. Pengeluaran untuk kebutuhan hidup seperti makanan dan pakaian ternyata juga sangat besar, karena kebiasaan mereka yang membeli makanan serta pakaian yang mahal-mahal. Sedangkan kalau sudah membeli hewan diperlukan juga pengeluaran untuk memelihara hewan tersebut agar terlihat sehat dan dapat digunakan sebaik mungkin. Maka tak heran bahwa gaya hidup priyayi yang sangat royal seperti itu membuat seorang priyayi harus kerja lebih gigih untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Menurut Sartono Kartodirdjo dkk (1987:7), priyayi tinggi (priyayi luhur) dapat dianggap sebagai priyayi sebenarnya yang dapat dilihat dari jabatan ayahnya, asal keturunan ibunya dan asal keturunan istrinya. Priyayi rendah merupakan priyayi karena jabatan pada administrasi pemerintahan. Dalam kebudayaan Jawa, istilah priyayi atau berdarah biru merupakan suatu kelas sosial yang mengacu kepada golongan bangsawan. Yaitu suatu golongan tertinggi dalam masyarakat karena memiliki keturunan dari keluarga kerajaan.
Secara ekonomis, keadaan ekonomi priyayi pangreh praja lebih baik dari pada keadaan ekonomi rakyat kebanyakan sehingga menunjang golongan priyayi pangreh praja untuk menyelenggarakan gaya hidup yang lebih dari golongan sosial lainnya. Priyayi pangreh praja memiliki kualitas hidup yang jelas lebih baik, antara lain dengan pemakaian fasilitas serta komoditi yang lebih modern dan jelas lebih mahal. Budget rumah tangga lebih terbatas dipakai untuk keluarga inti. Priyayi pangreh praja memiliki gaya hidup yang royal dan sangat konsumtif terhadap barang-barang impor. Orientasi yang amat kuat terhadap rasio atau penalaran dan materi memang telah membawa keunggulan bagi masyarakat Barat, serta dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi pada gilirannya menghasilkan kemewahan materi dan dengan disertai keunggulan ekonomi membawa priyayi ini untuk mampu mengikuti gaya hidup Barat (Koentowijoyo, 2004: 76).
Gaya hidup priyayi pangreh praja tidak luput dari pengaruh konjungtur sosial-ekonomi serta kemajuan industrialisasi beserta profesionalisasinya. Mereka mempunya standar dan kualitas hidup yang lebih tinggi di samping lingkungan sosio-kultural modern. Hal ini sering dikaitkan dengan kegiatan ekonomi karena pada umumnya golongan priyayi menguasai jabatan-jabatan pemerintah dari jaman penjajahan sampai saat ini (Cliffird Geertz, 1987: 305). 
Secara ekonomis, priyayi dan pangreh praja membedakan diri dengan petani karena kekuasaan priyayi dan pangreh praja terletak pada pengawasan sumber bahan-bahan pokok masyarakat yakni persediaan pangan. Keduanya saling bergantung satu sama lain secara simbolitik dengan kedua varian tradisi membayang bolak-balik bagaikan dua cermin yang saling berhadapan. Kita tidak akan mendapati petani tanpa priyayi atau priyayi tanpa petani. Suatu dampak dari sistem poligami adalah pejabat perlu menyelenggarakan rumah tangga besar yang menuntut penghasilan yang besar pula; semakin besar jumlah anggota keluarga inti, akan memperlihatkan semakin besar pendapatannya. Lebih-lebih perkawinan dengan puteri kerajaan menimbulkan gaya hidup yang glamour, serba leluasa, dan mewah dalam memenuhi kebutuhan makan, pakaian, perumahan, rekreasi, dan lain sebagainya (Sartono Kartodirdjo, 1987: 180).
Gaya hidup seperti ini dianggap menjadi suatu hal yang pokok bagi status tinggi. Proses timbal balik antara status dan gaya hidup glamour mau tak mau menjurus ke pemborosan serta ritualisme yang berlebih-lebihan. Orientasi gaya hidup pada status, kewibawaan, dan kebesaran inilah yang kadang membelakangkan pertimbangan-pertimbangan ekonomi dengan segala konsekuensinya. Akibatnya tidak jarang priyayi pangreh praja terjebak pada hutang hanya untuk menutup atau mempertahankan gaya hidupnya (Supariadi, 2001: 139).
PENUTUP
 Kewibawaan priyayi pangreh praja sebagai pembesar adminitrasi dengan sifat-sifat kebangsawanannya masih diperlukan, tetapi di lain pihak mencegah kemewahan yang berlebihan, yang tidak sesuai lagi dengan penghasilan yang sudah terbatas yaitu berupa gaji tetap dari pemerintah kolonial. Tindakan korupsi merajalela, kehidupan masyarakat tidak menentu
Dengan dipertahankannya adat-kebiasaan kebangsawanan lama beserta lambang-lambang dan upacaranya, maka ini berarti warisan budaya kebangsawanan dari masa yang lau masih tetap dipertahankan hidup dengan modifikasi sesuai dengan keadaan jaman dan kemampuan pendukungnya, yaitu golongan priyayi pangreh praja yang statusnya sudah berubah menjadi birokrat yang menerima gaji tetap dari pemerintah kolonial.
Pandangan hidup priyayi Jawa dapat terlihat melalui cerminan gaya hidupnya.
Gaya hidup priyayi Jawa pada zaman transisi memang telah mengalami perubahan
karena telah mendapat pengaruh dari pihak Belanda, yaitu dalam:
·         Aspek ekonomi Perubahan gaya hidup dalam aspek ekonomi, terlihat dari sikap golongan priyayi yang telah berubah menjadi hormat dan tunduk kepada penguasa Belanda. Tindakan priyayi yang dilakukan dalam bidang pekerjaan menjadi lebih meningkat, hal itu diakibatkan tuntutan kebutuhan yang semakin besar.



DAFTAR RUJUKAN

Astri Rahayu. 2008. Pandangan Hidup Priyayi Jawa Dalam Teks Idjol Pagawejan. Depok. Universitas Indonesia.
Franz Magnis-Suseno. 2003. Etika Jawa: Sebuah Analisa Filsafati Tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Geertz. C. 1987. Abangan, Santri, dan Priyayi dalam Masyarakat Jawa. Jakarta: PT Midas Surya Grafindo
Kartodirdjo. S. dkk. 1987. Perkembangan Peradaban Priyayi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Koentjaraningrat. 1972. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: PT Dian Rakyat.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1994. Kebudayaan Jawa, Jakarta: Balai Pustaka.
Kuntowijoyo. 2004. Raja, Priyayi, dan Kawula. Jogyakarta: Ombak.
Supariadi. 2001. Kyai dan Priyayi di Masa Transisi. Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN SAPE` SONO’ DI BUMI GERBANG SALAM KABUPATEN PAMEKASAN

artikel pp banyuayar

MTsN sumber bungur