DIPLOMATIK KOREA SELATAN DAN JEPANG DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PULAU DOKDO/TAKESHIMA PERIODE 2008-2011
UPAYA DIPLOMATIK KOREA SELATAN DAN JEPANG DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA PULAU DOKDO/TAKESHIMA PERIODE 2008-2011
MAKALAH
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Sejarah Hubungan Internasional
yang dibina oleh Ibu Yuliati, M.Hum
Oleh :
Ahmad
Amin Thohir 130731615728
Imam Pranata Adi N 130731607273
Luthfa
Maslukhi 130731615733
Rohana
Nur Ailil 130731615695
Toni
Jaka Prawira 130
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS ILMU SOSIAL
JURUSAN SEJARAH
Februari 2016
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Masalah perebutan/klaim suatu kepulauan oleh beberapa negara memang
menjadi masalah
yang rumit. Klaim suatu negara terhadap suatu wilayah negara lain sering kali menimbulkan konflik yang berujung
pada memburuknya hubungan antara
negara yang sama-sama memiliki klaim atas wilayah yang
sama.
Status Pulau
Dokdo/Takeshima diantara Korea Selatan
dan Jepang yang dipersengketakan kedua negara adalah status kedaulatannya,
dimana kedua negara mengklaim berdasarkan konektivitas
secara geografis dan historis atas
kepemili- kan pulau
tersebut. Dokdo adalah pulau yang terletak kira-kira di pertengahan antara Semenanjung Korea dan Kepulaun
Jepang (pada 37º 14 26,8” N
dan 131º 52 10,4” E).
Sebenarnya, Dokdo bukan
merupakan suatu pulau tapi gugusan pulau. Dokdo terdiri dari dua pulau utama, yaitu Dongdo (Pulau
Timur) dan Seodo (Pulau Barat). Kawasan Dongdo adalah 73297 m², dan Seodo memiliki luas
88639m jadi total luas kawasan Dokdo 187.453 m². Wilayah
Dokdo merupakan wilayah yang dipersengkatakan oleh Korea Selatan karena kepemilikannya.
Berdasarkan pada
perjanjian San Fransisco, kepulauan Dokdo tidak
termasuk kedalam wilayah yang harus
dikembalikan oleh Jepang Pada pasal 2 perjanjian San Fransisco hanya dibicarakan
pengembalian wilayah Pulau Kuril dan Senkaku pada Rusia. Hal ini dapat diartikan sebagai
legalitas Jepang untuk memiliki pulau itu. Dalih lain yang diberikan Jepang untuk menantang
klaim Korea Selatan atas Kepemilikan
pulau Dokdo berupa
bukti akan perjanjian pendudukan Jepang atas Korea. Pada saat penandatanganan perjanjian pendudu- kan Jepang
atas Korea, secara otomatis wilayah Korea merupakan bagian
dari wilayah jajahan Jepang. Namun, ada satu poin yang dianggap Jepang
penting untuk mengklaim pulau Dokdo tidak termasuk dalam wilayah Korea dan
dapat dianggap sebagai daerah tidak bertuan (Terra Nulius).
Upaya untuk
menyelesaikan persengektaan ini salah satunya adalah melalui upaya diplomatik.
upaya diplomatiik Korea Selatan – Jepang dalam penyelesaian sengketa Pulau
Dokdo yang ditandai dengan adanya negosiasi dan pertemuan pimpinan kedua negara
terkait masalah status. kedaulatan Pulau Dokdo dianggap sebagai suatu upaya
yang serius yang berimplikasi pada hubungan baik dan kerjasama kedua negara
yang saling ketergantungan satu sama lain mengingat hingga saat ini konflik
tersebut belum dapat diselesaikan.
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang di atas dapat dirumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana Sejarah singkat hubungan
Internasioanl Jepang dan
Korea Selatan?
2. Bagaimana Deskripsi gugusan kepulauan Dokdo / takeshima
yang di depersengketakan kedua negara?
3. Bagaimana upaya untuk menyelesaikan persengeketaan
antara dua negara?
4. Apa hal-hal yang menghambat penyelesaian Konflik
pesengketaan antara dua negara ini?
1.3
Tujuan
Penulisan
Berdasarkan rumusan
masalah di atas dapat dirumuskan tujuan makalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui Sejarah singkat hubungan
Internasioanl Jepang dan
Korea Selatan.
2. Untuk mendeskripsikan gugusan kepulauan Dokdo / takeshima
sehingga menjadi kepulauan yang di depersengketakan kedua negara.
3. Untuk mendeskripsikan upaya untuk menyelesaikan
persengeketaan antara dua negara.
4.
Untuk
mendeskripsikan hal-hal yang menghambat penyelesaian Konflik pesengketaan
antara dua negara ini
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah singkat hubungan Internasioanl Jepang dan
Korea Selatan
Negara Jepang dan Korea
menjalin hubungan diplomasi sejak tahun 1392 dimana pada saat itu Chosun
mendirikan Kingdom of Great Chosun (Korea) dan diplomasi pertama yang
dilaksanakan pada Dinasti Chosun ini disebut dengan neighborly relations (Eugi, 2010:43). Neighborly Relations
diadakan dengan tujuan untuk mempertahankan posisi atau wilayah Kingdom of
Great Chosun ini di Semenanjung Korea, oleh karena itu Chosun ingin menjalin
hubungan baik dengan negara tetangga, terutama dengan Jepang.
Setelah adanya
neighborly relations tersebut, peristiwa yang menjadi sejarah bagi hubungan
Jepang dan Korea ini kemudian terjadi lagi pada tahun 1592 – 1598, dimana
militer kekaisaran Jepang menginvasi Semenanjung Korea sebanyak dua kali dan
invasi ini dipimpin langsung oleh jenderal angkatan laut kekaisaran Jepang,
Toyotomi Hideyoshi. Tujuan invasi tersebut sebenarnya adalah untuk menaklukkan
Cina, dan Korea dianggap sebagai ‘pijakan’ untuk menaklukkan Cina (Turnbull, 2002;143). Invasi ini
menjadi invasi yang terbesar di Korea sebelum era modern, dan pada saat itu
Jepang telah menghancurkan sebagian besar kota di Korea melalui jalur laut.
Kemudian dengan adanya bantuan dari Dinasti Ming (Cina) pada akhirnya invasi
tersebut gagal dilakukan oleh Jepang.
Pada tahun 1868 Jepang
kemudian mengalami restorasi, yang disebut dengan Restorasi Meiji. Saat itu
sistem pemerintahan di bawah Shogun Tokugawa berhasil dilumpuhkan setelah
mengalami tekanan kuat. Terjadi kudeta terhadap kekuasaan shogun dengan tujuan
untuk mengembalikan kekuasaan Kaisar Matsuhito Meiji. Hal ini kemudian menjadi
titik balik dalam sejarah kehidupan sosial, politik, dan ekonomi Bangsa Jepang (Irsan, 2007: 21). Pemerintah Jepang mulai membuka
diri dengan dunia luar dan memungkinkan masuknya budaya, ilmu pengetahuan,
pendidikan, dan teknologi asing khususnya dari Barat. Masuknya budaya asing
tersebut berdampak pada perubahan pola pikir dan perilaku Bangsa Jepang dalam
menghadapi perkembangan internasional maupun regional. Jepang mulai berusaha
untuk menyaingi kemampuan barat, menumbuhkan kesadaran masyarakat agar lebih
bekerja dengan giat untuk mengejar ketertinggalannya.
Setelah adanya Treaty
of Ganghwa yang membuka hubungan Kerajaan Chosun (Korea) dengan dunia luar,
akhirnya Amerika, Qing Cina, dan negara-negara Eropa juga mulai masuk dan
melakukan hubungan diplomatik dengan Kerajaan Chosun (Korea). Dan akhirnya
banyak pihak untuk menguasai semenanjung Korea. Keinginan Jepang untuk
menguasai wilayah Semenanjung Korea tersebut di tentang oleh pihak Rusia, dan
mengakibatkan Perang Rusia – Jepang selama satu tahun yakni pada tahun 1904 –
1905.15 Saat itu Jepang berhasil mengalahkan Rusia, dan menghasilkan Perjanjian
Eulsa (1905) yang menetapkan Semenanjung Korea sebagai wilayah penyangga atau
buffer zone bagi negara Jepang. Atas kemenangan tersebut Jepang akhirnya dapat
menguasai sepenuhnya Semenanjung Korea (Mas’oed & Seung Yoon, 2004: 11)
Pada tahun 1910 Jepang
sudah menguasai seluruh hak dan fungsi politik luar negeri Korea. Penjajahan
Jepang atas Kerajaan Chosun (Korea) pada saat itu berlangsung selama kurang
lebih 35 tahun, hingga berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945. Zaman
penjajahan ini sebut oleh orang Korea disebut sebagai “Zaman Pendudukan Jepang”
atau di Jepang disebut dengan istilah ”Korea dibawah Pemerintahan Jepang”.
Selama masa pendudukan
Jepang di Semenanjung Korea, ada dua tahap penting yang dilakukan sebagai
kebijakan penjajahan Jepang terhadap Korea, yang pertama adalah masa awal
tekanan Jepang terhadap Korea. Masa ini berlangsung dari akhir abad ke 18
hingga awal abad ke 19, dimana para pedagang Jepang, yang dibantu oleh
kelompok-kelompok bersenjata seperti misalnya bajak laut, dengan membabi buta
melakukan eksploitasi terhadap Korea.
Penjajah Jepang juga
secara bersamaan mulai menguasai kaum feodal Korea, dan memasukkan nilai-nilai
kapitalisme dalam tradisi masyarakat Korea. hal ini dilakukan dalam rangka
menyebarkan modernisasi. Pada saat itu modal yang digunakan untuk melakukan
modernisasi di wilayah jajahannya tersebut didapatkan dari hasil penanaman
modal Jepang di Korea
(Mas’oed & Seung Yoon, 2010: 26).
Setelah Jepang dapat
menguasai perekonomian di Korea secara utuh, secara perlahan Jepang mulai
menghancurkan tatanan kehidupan masyarakat Korea. Pada saat itu Jepang memulai
strateginya untuk menguasai seluruh wilayah Semenanjung Korea dan memasukkan
struktur masyarakat Korea ke dalam struktur masyarakat Jepang. Dan untuk
menjaga kepentingan kekuasaan di wilayah Semenanjung Korea tersebut, Jepang
harus berperang melawan Rusia dan Cina yang ingin menjatuhkan kekuasaan Jepang
di wilayah tersebut (Mas’oed & Seung Yoon, 2010: 27).
Pada bulan November
hingga Desember 1943 ketika Perang Dunia II masih berlangsung, digelar sebuah
pertemuan oleh para pemimpin Blok Sekutu yang diadakan di Kairo. Pertemuan yang
dihadiri oleh Franklin Delano Roosevelt, Winston Churchill, dan Chiang Kai Sek
ini bertujuan untuk membahas hal yang perlu dilakukan Seandainya Jepang kalah
dalam peperangan. Pertemuan
ini akhirnya menghasilkan Cairo Declaration atau Deklarasi Kairo yang
menyatakan bahwa ketika Jepang telah kalah dalam perang maka tidak ada lagi hak
atas kepemilikan Jepang terhadap wilayah yang telah dikuasainya dengan
menggunakan kekuatan militer setelah tahun 1895, ini berarti Semenanjung Korea
juga termasuk didalamnya. Dan Semenanjung Korea akan menjadi wilayah yang bebas
dan merdeka, atau in due course
(Prihantono, 2013:9).
Terbukti ketika Perang
Dunia II berakhir, Jepang harus mengakui kekalahannya dan melepaskan Semenanjung
Korea. Kemudian Amerika Serikat segera merealisasikan isi dari pertemuan di
Postdam, Perintah Umum No. 1 tanggal 11 Agustus 1945. Perintah ini berisi bahwa
seluruh pasukan Jepang yang masih berada di Utara garis paralel ke 38 harus
menyerahkan diri kepada Soviet, sedangkan yang berada di Selatan garis paralel
ke 38 akan takluk kepada Amerika. Secara langsung Jenderal Douglas MacArthur
selaku Panglima Tertinggi Kekuatan Sekutu yang melakukan penyusunan perintah
tersebut di Washington, bersama dengan para pemimpin militer dan
politik Amerika Serikat. Dan keputusan pun ini ternyata tidak memberatkan
Stalin (Prihantono,
2013:9).
2.2
Deskripsi
gugusan kepulauan Dokdo/Takeshima
Dokdo memiliki nama
yang berbeda tergantung pada siapa yang
merujuknya
dalam rentang waktu sejarah yang berbeda.
Pada masa lalu, Korea memiliki beberapa nama untuk Kepulauan Dokdo yaitu Unsando,
Sambongdo, Seokdo, dan Gajido (“-do” berarti pulau). Alasan tidak kelanjutan dari
nama-nama itu adalah tidak adanya penduduk yang mendiami pulau itu (http://www.koreaaward.com). Yang pertama menyebutnya sebagai
Unsando adalah Kerajaan Unsanguk pada
tahun
512 dan telah tergabung dalam Dinasti Silla.
Dokdo berada di laut
Jepang sebagai bagian dari gunung berapi yang telah berulang kali meletus sekitar 4,6-2,5 juta
tahun yang lalu. Karena proses pengendapan yang berlangsung
ribuan tahun, Dokdo terbentuk dua pulau karang yang bernama Seodo dan Dongdo yang secara harfiah dapat
diartikan sebagai pulau barat dan timur yang dipisahkan satu sama lain sekitar 2 juta tahun
yang lalu dan berjarak sekitar 151 meter satu sama lain. Bagian barat atau Seodo merupakan
bagian tertinggi dan lebih besar dibandingkan dengan Dongdo atau pulau timur. Dokdo juga
terdiri dari 87 pulau kecil yang mengelilingi dua pulau gugusan besar dan 30 diantaranya
telah diberi nama oleh Kementrian Korea Selatan (http://www.koreaaward.com).
Kepulauan Dokdo
memiliki iklim yang hangat yang dipengaruhi oleh arus laut yang berkumpul di dekat pulau. Suhu
rata-rata sepanjang tahun di Pulau ini mencapai 12° C dan suhu paling ekstrem
terjadi pada bulan Januari yang mencapai 1° C serta pada bulan Agustus 23°C.
Rata-rata curah hujan tahunan adalah 1240 mm dan di musim dingin Dokdo akan
berselimut salju. Hujan dan salju rata-rata turun 150 hari dalam setahun dan
hanya 160 hari lebih
yang berawan atau berkabut.
(http://www.koreaaward.com).
Dokdo adalah pulau yang
terletak kira-kira di pertengahan antara Korea dan Kepulauan Jepang (pada 37° 14 26,8”
N dan 131° 52 10,4” E). Sebenarnya Dokdo bukan satu pulau tapi merupakan gugusan
pulau-pulau. Ia terdiri dari dua pulau utama, Dongdo (Pulau Timur) dan Seodo (Pulau Barat),
yang sekitar 89 batu-batu yang lebih kecil scattered tersebar. Kawasan Dongdo adalah
73297m², dan Seodo memiliki luas 88639m². Total luas kawasan Dokdo adalah 187.453m² (http://www.koreaaward.com).
Mengenai masalah demografi, Pada bulan Mei 1968,
seorang nelayan Korea Selatan bernama Chwe (atau Choi) Jongdeok pindah ke Dokdo dan
menjadi orang pertama yang ada di pulau tersebut. Sejak itu, Dokdo telah dihuni oleh warga Korea
Selatan . selain nelayan itu, Pemerintah Korea Selatan juga menempatkan sejumlah pasukan
patrol penjaga pantai sejak tahun 1954. Pada
tahun 2006, pemerintah Korea Selatan
mengumumkan wacana untuk menambah kuota penduduk di pulau tersebut menjadi sekitar 20
orang (http://www.koreaaward.com).
2.3
Upaya
untuk menyelesaikan persengeketaan antara dua negara
Seperti yang diketahui
bahwa hubungan Diplomatik Korea Selatan-Jepang mengalami berbagai macam kendala
terkait konflik berkepanjangan yang di alami kedua Negara mengenai hak
kepemilikan atas kepulauan Dokdo. Namun dalam perkembangannya kedua belah pihak
sama-sama berusaha untuk memperbaiki hubungan diplomatik mereka karena sadar
akan betapa besarnya kerugian yang akan dialami masing-masing Negara jika harus
terlibat konflik terus menerus.
Meski masih
dibayang-bayangi kolonisasi brutal Jepang pada tahun 1910-1945, namun Korea
Selatan tetap menyambut baik kunjungan pemerintah Jepang ke Seoul dan berusaha
kembali untuk mencairkan suasana hubungan kedua Negara yang selama ini
bersitegang. Ini dilakukan sebagai salah satu cara untuk merajut kembali
hubungan baik dan kerjasama dua Negara demi kepentingan kedua belah pihak
karena tanpa disadari keduanya saling membutuhkan satu sama lain.
Untuk mempererat
kembali hubungan dua Negara tersebut, Perdana Menteri Jepang Taro Aso mengunjungi Seoul.Walaupun
terjadi ketegangan namun Korea Selatan menyambut baik
kedatangan Perdana Menteri Jepang tersebut. Dan dalam pertemuan itu, kedua
Negara tampak berusaha menghangatkan
hubungan diplomatik nya
serta sepakat untuk mempererat kembali
hubungan ekonomi kedua Negara di tengah hantaman krisis keuangan global saat ini.
Masao Okonogi, seorang
ahli Korea dari Universitas Keio, Tokyo mengatakan “pertemuan ini mrupakan
sebuah formalitas untuk menunjukkan bahwa mereka memiliki visi yang
berorientasi masa depan dan akan melihat kedepan, bukan menengok kembali masa
lalu”. Memang sejak awal tahun 2009, Jepang tampaknya memang terus berusaha
menjalin kedekatan dengan Korea Selatan.
Perdana Menteri Jepang dan Presiden Korea Selatan rutin mengadakan pertemuan setiap
bulannya demi menggalang dan meningkatkan kerjasama.
Korea Selatan memang
tengah merasakan hantaman keras dari krisis financial global. Negara dengan ekonomi terbesar
ke-13 di dunia dan keempat di Asia ini diprediksikan paling rentan terhadap kekacauan ekonomi.
Dan banyak analis memprediksikan ekonomi Korea Selatan
akan merosot sebanyak 3% untuk pertama kalinya dalam 11 tahun terakhir.
Sementara Jepang adalah
Negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia dan mulai mengalami resesi sejak Juli 2008.
Banyak analis yang memprediksikan bahwa GDP Jepang akan menukik tajam ke titik
terendah dalam 34 tahun terakhir. Jadi tak heran bila kedua Negara ini sama-sama berusaha untuk
saling menguatkan agar tidak semakin terpuruk dalam hantaman krisis dengan saling
mendukung dan meningkatkan kerjasama khususnya di bidang ekonomi.
Dalam pertemuan
rutinnya, kedua Negara ini juga membahas masalah multilateral menyangkut pelucutan program nuklir
Korea Utara yang membuat resah akhir-akhir ini dan juga kemungkinan mewujudkan
kesepakatan perdagangan antara Jepang dan Korea Selatan yang sempat tersendat selama
bertahun-tahun. Kedua Negara ini juga berniat untuk meningkatkan kerjasama dalam bidang
antariksa dan program satelit.
Upaya-upaya
dalam mempererat Hubungan kedua negara tersebut tidak lepas dari adanya
sengketa mengenai Kepualauan Dokdo/Takeshima. Upaya yang dilakukan tentunya
melalui sebuah negosiasi. Karena dalam
kehidupan masyarakat internasional terdapat dua kemungkinan hubungan yaitu
kerja sama atau persengketaan. Meskipun Korea Selatan dan Jepang berada dalam
kondisi bersengketa mengenai Pulau Dokdo selama puluhan tahun, akan tetapi
upaya mencapai kedamaian tetap dilakukan yaitu melalui negosisi.
Jepang dan Korea Selatan telah
melakukan beberapa kali negosiasi untuk menyelesaikan sengketa Pulau Dokdo.
Menurut O’Shea dalam Paramitha (2013:10), bahwa Negosiasi sudah dimulai pada
bulan April 2006. Saat itu pemerintah Jepang mengumumkan rencana untuk
melakukan riset ilmiah meneliti fitur geografis bawah laut di Laut Jepang.
Wilayah yang rencananya akan diteliti oleh Jepang tersebut mencakup perairan
sekitar Pulau Dokdo. Rencana pemerintah Jepangmenyebabkan tegangnya hubungan
dengan Korea selatan, karena mereka sama-sama mengklaim Pulau Dokdo sebagai
Zona Ekonomi Eksklusifnya.
Selanjutnya kedua negara sepakat
untuk melakukan negosiasi demi menyelesaikan sengketa. Wakil Menteri Luar
Negeri Jepang yang pada saat itu menjadi ketua tim negosiator dari Jepang
menyatakan bahwa negosiasi antara Jepang dan Korea Selatan berlangsung
sangat tegang dan alot. Pada akhirnya tidak menemukan jalan penyelesaian
apapun. Kesepakatan yang didapat dalam negosiasi tersebut adalah bahwa Jepang
setuju untuk menunda rencana riset ilmiahnya dan Korea Selatan menunda
mendaftarkan fitur geografis bawah laut kepada Organisasi Hidrologi
Internasional (Paramitha, 2013:10).
Kedua negara juga sepakat untuk melakukan riset ilmiah di Laut Jepang secara
bersama-sama. Riset inilah yang kemudian menghasilkan penemuan gas hidrat di
Ulleung Tsusima Basin.
Sebelumnya pada tahun 1998, Jepang
dan Korea Selatan menyepakatiPerjanjian Perikanan 1998 (The Fisheries
Agreement) di Laut Jepang. Perjanjian Perikanan ini merupakan pengaturan
sementara dalam sengketa Pulau Dokdo. Kedua negara ini berhak untuk menangkap
ikan dalam jumlah tertentu yang selanjutnya diatur oleh Komisi Perikanan
Gabungan (Joint FisheriesCommittee)(Paramitha. 2013: 11).
Negosiasi dasar ini berubah sejak
tahun 2006 pada saat Korea Selatan mengeluarkan deklarasi yang menyatakan
membebaskan diri dari penyelesaian sengketa dengan prosedur wajib seperti yang
terdapat dalam Pasal 287 Konvensi Hukum Laut 1982. Korea Selatan mengubah
sikapnya atas negosiasi dasar dengan mengklaim kepemilikan atas Pulau Dokdo
yang semula direncanakan sebagai titik pangkal Jepang. Sikap Korea Selatan yang
menolak melakukan prosedur wajib pada akhirnya mempersulit penyelesaian
sengketa Pulau Dokdo ini. Negosiasi telah beberapa kali dilaksanakan dan
memakan waktu lama ternyata tidak menghasilkan penyelesaian apapun (Paramitha.
2013: 10-11).
2.4
Hal-hal
yang menghambat penyelesaian Konflik pesengketaan antara dua negara ini
a) Ketidakjelasan
Batas-batas Negara dan status suatu wilayah
Masalah ketidakjelasan
batas-batas Negara dan status suatu wilayah merupakan bagian dari permasalahan “sengketa”
diantara Negara-negara yang memiliki letak geografis berdekatan dan berbatasan. Seperti
halnya Negara-negara di kawasan Asia Timur yang mengalami
konflik persengketaan mengenai ketentuan batas-batas teritorial dan status akan pulau-pulau yang berada di
Semenanjung Korea khususnya.
Bila kita cermati,
banyak Negara-negara di Asia juga menghadapi masalah yang sama. Anggapan bahwa situasi perbatasan
atau posisi pulau-pulau dari suatu Negara akan tetap aman dan damai mungkin ada
benarnya, namun dibalik itu semua sebenarnya bertaburan benih-benih konflik
yang dapat menyulut persengketaan secara terbuka.
Ada beberapa faktor
yang dapat menyulut persengketaan antar Negara negara
di dunia, antara lain:
a)
Ketidaksepahaman mengenai garis
perbatasan antar Negara yang banyak yang belum terselesaikan
melalui mekanisme perundingan (bilateral).
b)
Peningkatan persenjataan dan eskalasi
kekuatan militer baik oleh Negara-negara yang ada
di satu kawasan maupun yang diluar kawasan.
c)
Eskalasi aksi terorisme lintas Negara,
dan gerakan separatis bersenjata yang
mengundang
kesalahpahaman antar Negara bertetangga (www.tnial.mil.id).
Potensi konflik antar Negara-negara di
kawasan Asia Pasific (Asia Tengah, Asia Timur dan Asia
Tenggara) sangat bervariasi, baik itu sifat, karakter maupun intensitasnya. Namun
kalau diperhatikan dari beberapa konflik terbatas dan berintensitas rendah yang terjadi
selama ini, terdapat beberapa hal yang dapat memicu terjadinya konflik terbuka
yang dapat
berkembang menjadi konflik regional bahkan internasional. Faktor potensial yang dapat
menyulut persengketaan terbuka itu antara
lain:
a)
Implikasi dari internasionalisasi
konflik internal di suatu Negara yang dapat menyeret Negara lain ikut terlibat dalam
persengketaan.
b)
Pertarungan antar elite di suatu Negara
yang karena berbagai faktor merambat ke luar
negeri.
c)
Meningkatnya persaingan antar
Negara-negara maju dalam membangun pengaruh di kawasannya.
d)
Eskalasi konflik laten atau konflik
intensitas rendah (low intensity) antar Negara yang berkembang melampaui ambang batas
toleransi keamanan regional sehingga menyeret pihak
ketiga untuk ikut terlibat di dalamnya. Ini biasanya berawal dari “dispute territorial” antar Negara ama
terutama mengenai garis batas perbatasan antar Negara. (www.tnial.mil.id).
Begitu pula dengan sengketa Pulau Dokdo
antara Jepang dan Korea Selatan yang belum
terselesaikan hingga saat ini. Masing- masing Negara mengklaim bahwa Pulau Dokdo adalah
wilayah kedaulatannya. Sebenaranya permasalahan ini berawal dari status
kedaulatan
Pulau
Dokdo yang terletak di Semenanjung Korea, yang diakui kedaulatannya berada dibawah
kekuasaan territorial Korea dibawah kepemimpinan Dinasti Shilla pada 512M.
Namun sejak tahun
1905-1945 Jepang mulai melakukan imperialisasi atas wilayah Korea
dan seluruh daerah Semenanjung Korea, yang berdampak pada diakkuinya Pulau Dokdo
sebagai “pulau Takeshima” dan berada dibawah yuridiksi Dewan Prefektur Shimane sejak
tahun 1905. Padahal di dalam sejarah Korea, dua gugusan karang seluas 186.000m2
itu merupakan
wilayah bagian dari Provinsi Gyeongsang Utara dan berkaitan dengan Pulau Daemodo
yang ditakluk- kan Jenderal Korea Selatan Yi Jong-mu pada 29Juni 1419. Karena warisan
sejarah dan legitimasi tersebut, Seoul menetapkan kembali Pulau Dokdo sebagai
daerah kedaulatan Korea Selatan sejak tahun 1953 dengan menempatkan pasukan
kepolisian diwilayah tersebut. Hal ini dilakukan sebagai tanggapan hukum dan
politik atas sikap Jepang yang
setelah memenangkan perang dengan China pada 22 Agustus 1910 menganeksasi Semenanjung
Korea. Sengketa batas laut atau maritim
Jepang-Korea Selatan atas Pulau Dokdo
berkonteks warisan historis yang logis sebagai tumpuan kedaulatan wilayah Korea Selatan.
b)
Sentimen
Sejarah kedua Negara (Jepang dan Korea Selatan)
Untuk kelima kalinya ,
Perdana Menteri Junichiro Koizumi berkunjung ke Kuil Yasukuni. Seperti yang sudah-sudah,
kunjungan itu menuai kemarahan China dan
Korea Selatan. Hubungan diplomatik Jepang
dan kedua negara itu berada di ujung tanduk. Kuil Yakusuni
yang berarti “negeri yang damai” itu memang menyimpan luka lama. Di kuil yang dibangun tahun 1869 itu dimakamkan
sekitar 2,5 juta orang Jepang yang tewas selama perang.
Meraka terdiri atas perawat, prajurit, dan pelajar yang maju ke medan perang.
Bagi sebagian besar orang Jepang, mereka
dikuburkan di kuil itu adalah pahlawan sehingga patut didoakan dan dihormati (http://www.bbc.co.uk/).
Namun, bagi rakyat
China dan Korea Selatan, Kuil Yasukuni dipandang tak lebih sebagai simbol kekejaman Jepang.
Pasalnya, di kuil itu dimakamkan juga penjahat kelas A, seperti Perdana Menteri Jendral
Hideki Tojo yang bertanggung jawab atas kekejaman Jepang selama perang dunia II. Karena itu,
kunjungan para pejabat Jepang, termasuk Koizumi seakan membangkitkan luka lama dan
kenangan pahit Bangsa China dan Korea Selatan. Rakyat China, misalnya, segera teringat
kembali peristiwa pembantaian ribuan orangdi Nanjing antara Desember 1937 dan Maret 1938
yang diperkirakan memakan korban 250.00 hingga 300.000
jiwa. Sebagian diantara korban adalah anak-anak dan perempuan. Seorang koresponden surat kabar Jepang
melihat barisan orang-orang China yang akan dieksekusi di tepi sungai Yangzte.
Rakyat Korea (dulu belum terpecah menjadi dua) juga merasakan kekejaman
Jepang selama masa pendudukan daro tahun 1910-1945. Ratusan
ribu perempuan Korea dinistakan
sebagai budak seks tentara
Jepang sejak tahun 1932. Sebagian dari mereka dibunuh. Hal yang sama
juga terjadi di Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara. Luka lama
itulah yang menyebabkan setiap kunjungan Koizumi di Kuil
Yasukuni ditanggapi secara sangat
keras oleh Korea dan China.
Meraka menganggap kunjungan tersebut sebagai simbol tidak adanya
penyesalan Pemerintah Jepang atas kekejaman militernya di masa lalu
(http://www.voaindonesia.com/).
Agak mengherankan kenapa Koizumi “nekad” mengunjungi Yasukuni meski
dengan taruhan hancurnya hubungan diplomatik Jepang dengan
negara tetangganya. Bethan
Jinkinson dalam analisisnya
yang di muat di BBC NEWS Agustus 2005 mengatakan, banyak orang
Jepan masih terobsesi dengan sentimen nasionalisme yang diwariskan kelompok
garis keras nasionalis Jepang. Hal ini mungkin dapat
menjelaskan mengapa sejumlah politisi Jepang ,
termasuk Koizumi, merasa perlu memberikan penghormatan di Kuil Yasukuni (http://www.bbc.co.uk/).
Konflik akibat sejarah masa lalu yang berlarut-larut seperti ini tentu
saja membahayakan hubungan diplomatik Jepang dengan negara
tetangganya. Menyusul
kunjungan Koizumi ke Kuil Yasukuni,
Pemerintah China dan Korea Selatan langsung mengajukan
protes keras. China membalas tindakan Koizumi dengan membatalkan kunjungan
Menlu Jepang Nobutaka Machimura ke Beijing. China juga menegaskan kunjungan
Koizumi ke Kuil Yasukuni merupakan provokasi terhadap rakyat China.
Sikap pemerintah Korea Selatan tak kalah kerasnya. Pemerintah Korea
Selatan membatalkan kunjungan Menlu Ban Ki-moon ke Jepang dan
mungkin akan membatalkan
kunjungan Presiden Roh
Moo-hyun ke Jepang Desember nanti. Belakangan, Pemerintah Korea
Utara turut mengkritik keras kunjungan Koizumi dan menganggapnya sebagai tindakan
yang tidak bijaksana. Kunjungan Koizumi ke Yakusuni tampaknyta memang membuat
situasi politik di Asia Timur yang sudah panas menjadi bertambah panas.
Sejumlah pengamat politik internasional mengatakan, gesekan
antara Jepang-China dan Jepang-Korea Selatan akan
mempertajam persaingan sengit di Asia Timur.
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
a.
Sejarah
Hubungan Internasional antara Jepang dan Korea telah terjadi sejak masa pemerintahan
dinasti Chosun dan Korea. Hubungan Internasional Jepang dan Koreaa selatan
berlanjut hingga kini dan mengalami banyak pasang surut. Pasang surut terntunya
berdampak positif dan negatif tergantung situasi dan kondisi yang ada.
b.
Kepulauan
Dokdo atau Takehsima dalam penyebutan Jepang adalah kepulauan yang terletak di
antara dua negara dan menjadi arena perebutan. Perebutan kepulauan dokdo telah
terjadi sejak era kuno dan berlajut hingga kini. Hingga tahun 2008 Jepang
kembali mengklaim Dokdo/ Takeshima sebagai wilayahnya kembali dan membuat
hubungan kedua negara menjadi retak.
c.
Upaya
yang dilakukan untuk mengatasi masalah sengketa kepulauan ini adalah dengan
melakukan negosiasi yang Intens. Negosiasi melalui jalur diplomasi lebih
dipilih ketimbang melalui kontak fisik (Perang). Negosiasi ini lebih
mengedepankan kepentingan bersama dibanding mengedepankan masalah ego kedua
negara.
d.
Hal-hal
yang menghambat negosiasi antara kedua negara adalah masih belum jelasnya batas
negara antara kedua negara disekitaran kepulauan Dokdo/takeshima. Dan adanya
sentimen negatif terhadap sejarah dari kedua negara di masa lalu.
3.2
Saran
Persengketaan Kepulauan Dokdo atau Takeshima antara
Jepang dan Korea Selatan adalah bentuk dari Hubungan Internasional antara kedua
negara.
Banyak nilai historis yang bisa diambil dari permasalahan tersebut. Hal yang
buruk bisa kita jadikan pelajaran agar dimasa mendatang menjadikan kita lebih
baik dalam menentukan langkah suatu kebijakan dan Hal yang baik selalu bisa
kita jadikan pegangan dalam menentukan maa depan suatu bangsa. Kami sebagai
penulis berharap tulisan ini bisa dimanfaatkan sebaik mungkin dan dalam
penyusunan makalah selanjutnya bisa lebih baik lagi.
DAFTAR
RUJUKAN
Anonim.
2009. Dokdo. (Online). http://www.koreaaward.com/profi korea/dokdo.htm. diakses
pada tanggal 27 Januari 2016
Anoniim.
2010. Sengketa Kepulauan Dokdo/Takeshima. (Online). http://www.tnial.mil.id/Majalah/Cakrawala/ArtikelCakrawala/tabid/125/articleType/ArticleView/articleId/66/Default.aspx
diakses pada tanggal 27 Januari 2016
BBC
UK. 2005. Perdana Menteri Jepang Kunjungi Kuil Yasukuni. (Online). http://www.bbc.co.uk/indonesian/news/story/2005/10/051017_japanshrine.shtml
diakses pada tanggal 27 Januari 2016
Eungi,
K. 2010. Korea: A Brief History. Diakses melalui
http://ocw.korea.edu/ocw/division-of-international-studies/contemporary-korean-society/2_korean_history-10.1.pdf
diakses pada tanggal 27 Januari 2016.
Irsan,
A. 2007. Budaya dan Perilaku Politik
Jepang di Asia. Jakarta : Grafindo Khazanah Ilmu.
Mas’oed,
M & Seung-Yoon, Y. 2004. Politik Luar
Negeri Korea Selatan: Penyesuaian Diri Terhadap Masyarakat Internasional.
Yogyakarta : Gadjah Mada University Press.
Mas’oed,
M & Seung-Yoon, Y. 2010. Politik Dan
Pemerintahan Korea: Sejarah Politik Korea. Yogyakarta : INAKOS (The
International Association of Korean Studies in Indonesia) dan Pusat Studi Korea
UGM.
Paramitha, F.D.A. 2013. Sengketa Pulau
Dokdo antara Jepang dan
Korea Selatan, (Online), http://journal.unair.ac.id/filerPDF/FAUZIA%20DYAH%20AYU%20PARAMITHA.PDFDiakses pada 27 Januari 2016.
Prihantono,
D. 2013. Perang Korea: Konflik Dua Saudara.
Mata Padi Presindo. Yogyakarta.
Turnbull,
S. 2002. Samurai Invasion Japan's Korean War 1592-1598. Diakses melalui
http://www.h4.dion.ne.jp/~room4me/korea/bunroku.htm diakses pada tanggal 27
Januari 2016
Voa
Indonesia. 2016. China, Korea Selatan Kutuk Kunjungan PM Jepang ke Kuil
Yasukuni. (Online). http://www.voaindonesia.com/content/china-korsel-kutuk-kunjungan-pm-jepang-ke-kuil/1818336.html
Komentar
Posting Komentar